welcome to blog putra toraja

Rabu, 20 Maret 2013

MAYAT BERJALAN TRADISI MASYARAKAT DI SESEAN

GUNUNG Sesean, Kec Sesean Suloara yang terletak di ketinggian 1300 mdpl masih menyimpan misteri. Ritual membangunkan mayat yang menjadi tradisi warga setempat masih menjadi pertentangan sejumlah pihak. Pernahkah anda melihat bagaimana ritual masyarakat setempat membangkitkan jenazah dari kuburan.


Almarhum Piter Sampe Sambara' yang telah wafat sekitar 80 tahun lalu. Bangkit dari tidur panjangnya. Setelah keluarga dan kerabat dekatnya menjalankan tradisi mengganti pakaian jenazah. Prosesi ini dikenal dengan istilah ritual adat Ma'nene.

Tradisi mengganti pakaian almarhum Piter Sampe Sambara' ini dilakukan kerabatnya sebagai bentuk penghargaan kepada leluhur. Tepat hari Kamis, 23 Agustus 2012 keluarga besar Piter Sampe Sambara' sepakat membongkar peti jenazah kerabatnya yang dikubur di liang batu. Sebelum ke kuburan, masyarakat dan handai taulan berkumpul di pelataran desa di bawah deretan rumah tradisional khas Toraja, Tongkonan.

Mayat orang Toraja selalu dikuburkan di liang batu. Tradisi itu erat kaitannya dengan konsep hidup masyarakat setempat. Mereka meyakini leluhurnya yang suci berasal dari langit dan bumi. Tak layak jasad orang yang meninggal dikuburkan di dalam tanah. Bagi mereka itu bisa merusak kesucian bumi yang berdampak pada kesuburan tanah.

Di bawah kuburan tebing batu keluarga ini berkumpul menunggu peti jenazah leluhurnya diturunkan. Tak jauh dari tebing, kaum lelaki saling bergandengan tangan membentuk lingkaran sambil melantunkan tarian Ma`badong. Sebuah gerak dan lagu yang melambangkan ratapan kesedihan mengenang jasa mendiang yang telah wafat sekaligus memberi semangat pada keluarga almarhum.

Bersamaan dengan itu, peti jenazah pun mulai diturunkan dari lubang batu secara perlahan-lahan. Peti kusam berisi jasad Piter Sampe Sabara'. Mereka mempercayai ada kehidupan kekal setelah kematian. Kematian bukanlah akhir dari segala risalah kehidupan. Setiap keluarga di desa itu memiliki kewajiban mengenang dan merawat jasad leluhurnya meski sudah meninggal dunia berpuluh-puluh tahun lalu.

Dalam ritual ini, jasad orang mati dikeluarkan kembali dari tempatnya. Kemudian, mayat tersebut dibungkus ulang dengan lembaran kain baru oleh masing-masing anak cucunya.

Tamu-tamu dan kerabat mereka disuguhi makanan khas daging babi bagi yang nasrani serta daging kerbau dan ayam bagi yang muslim. Setelah itu, masyarakat dan kerabatnya berangkat menuju persemayaman jenazah keluarga mereka. Namun, tempat yang dituju bukan lagi liang batu, melainkan sebuah Pa`tane yakni rumah kecil yang digunakan untuk menyimpan jasad para leluhur mereka.

Berbagai kegiatan ritual ini selalu diawali dengan memotong kerbau dan babi. Tradisi yang diwariskan leluhurnya itu dipercaya akan membawa kemudahan bagi warga setempat. Ritual yang menjadi rutinitas tahunan masyarakat setempat diyakini memudahkan penduduk setempat mendapat binatang buruan dan mencari buah-buahan di hutan. Tanaman pertanian panen lebih cepat dengan hasil melimpah.

Mereka menganggap jasad orang yang meninggal harus tetap dimuliakan, meski itu hanya tinggal tulang belulangnya. Ritual Ma`nene, yang diamanatkan leluhurnya, mendiang Pong Rumasek. Tradisi ini juga dimaknai sebagai perekat kekerabatan diantara mereka. Bahkan Ma`nene menjadi aturan adat yang tak tertulis yang selalu dipatuhi setiap warga.

Ketika salah satu pasangan suami istri meninggal dunia, maka pasangan yang ditinggal mati tak boleh kawin lagi sebelum mengadakan Ma`nene. Mereka menganggap sebelum melaksanakan ritual Ma`nene status mereka masih dianggap pasangan suami istri yang sah. Tapi, jika sudah melakukan Ma`nene, maka pasangan yang masih hidup dianggap sudah bujangan dan berhak mencari pasangan hidup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar